Sebuah studi retrospektif CIA yang dilakukan pada tahun 1965 mengemukakan bahwa pada saat itu (1960an) jelas Soekarno dipengaruhi untuk berpikiran buruk terhadap Amerika Serikat maupun Inggris. Ia tampaknya bersungguh-sungguh yakin bahwa Inggris dan Amerika Serikat sedang bekerja sama dengan militer Indonesia dalam menyusun rencana untuk menggulingkannya. Sejak pemberontakan PRRI-Permesta di luar Jawa 1956-1961 yang melibatkan Amerika Serikat dan Inggris, ia sudah sangat mencurigai Amerika Serikat,
terutama CIA. Pada musim panas 1965 ketika masalah Irian Barat berhasil dimenangkannya, kemarahan Soekarno pada Belanda dialihkannya kepada Amerika Serikat dan Inggris. Dalam keadaan dimana ketegangan antara dia dan Angkatan Darat semakin meningkat, mudah saja jika ia percaya bahwa Dewan Jenderal (kumpulan perwira tinggi ABRI yang kemudian menjadi korban G-30S/PKI) merencanakan untuk mengadakan kudeta, mungkin atas biaya luar negeri.[1]
Betapapun juga, desas-desus itu berakhir pada 30 September 1965 ketika Letnan Kolonel Untung, komandan salah satu batalion pengawal istana Soekarno, memerintahkan penculikan 6 perwira tinggi Angkatan Darat dan (atas perintah Untung atau tidak) membunuh mereka secara kejam, termasuk Jenderal Yani dan beberapa perwira tinggi yang menjadi pengikut dan pendukungnya. Nasution juga menjadi target, tetapi ia berhasil melarikan diri. Namun, putrinya yang masih kecil dan salah seorang ajudannya terbunuh. Untung mengumumkan bahwa gerakan yang dilancarkannya bertujuan mencegah kudeta yang hendak dilakukan oleh “Dewan Jenderal” (yang mungkin terdiri atas enam orang Jenderal yang diculik itu serta Nasution) yang menurutnya didukung oleh CIA.
Kudeta yang dilakukan Let.Kol Untung memang tidak mungkin berhasil bila mengingat betapa cerobohnya persiapan-persiapan yang dilakukan. Pasukan yang dikerahkannya dengan cepat dikalahkan oleh pasukan Kodam Jaya yang dipimpin Jenderal Umar Wirahadikusumah dan pasukan Kostrad yang di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Sekalipun pasukan Untung yang bergerak dari markas operasi di pusat kota Jakarta berhasil menduduki kantor berita RRI, mereka sama sekali mengabaikan Markas Kostrad pimpinan Soeharto, yang lokasinya dekat dengan kantor RRI itu dan memiliki sistem komunikasi terpadu dengan kesatuan militer di seluruh Indonesia. Untung menyatakan gerakan itu dilakukan untuk melindungi Soekarno. Namun, dalam susunan pemerintahan yang baru secara mencolok ia tidak mencantumkan nama Soekarno dan tidak menunjukkan indikasi bahwa Soekarno mendukung tindakannya ataupun pemerintahan yang baru itu.[2] (Mengingat betapa populernya Soekarno ketika itu, tidak dicantumkannya nama Soekarno sangat menarik perhatian mereka yang mendengar pengumuman Untung tersebut). Dan akhirnya ia mengumumkan kebijakan pemerintahnya yang telah diperhitungkan sedemikian rupa, sehingga tidak melibatkan para perwira Angkatan Darat yang berpangkat diatas letnan kolonel. Sementara semua prajurit dan bintara dinaikkan pangkatnya satu tingkat lebih tinggi (dua tingkat bagi mereka yang mendukung gerakan Untung), semua pangkat diatas letnan kolonel dihapuskan.
Jenderal Soeharto yang dalam struktur komando Angkatan Darat berada pada posisi langsung di bawah Jenderal Yani ternyata tidak menjadi target anak buah Untung. Dengan mudah ia mengerahkan pasukan-pasukan Kostrad dan dalam wkatu kurang dari 24 jam berhasil menguasai pasukan pendukung gerakan Untung yang hanya terdiri atas tiga batalion. Soeharto lalu mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Dengan menuduh PKI berada di balik gerakan Untung, ia mengerahkan pasukan Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI secara masal, termasuk organisasi buruh, organisasi tani dan organisasi-organisasi masa lain yang berada di bawah perlindungan dan dianggap bersimpati pada PKI. Namun di daerah pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sumatra Utara dan Bali (dimana jumlah pembunuhan itu paling tinggi), Angkatan Darat juga mempersenjatai anggota organisasi pemuda non-komunis setempat, terutama anggota Pemuda Ansor, yang menjadi komponen pemuda Partai Islam Nahdlatul Ulama dan mendesak mereka untuk ikut serta melakukan eksekusi. Sebagian besar pembunuhan itu terjadi di luar kota-kota besar, terutama di daerah pedesaan, khususnya pembunuhan yang dilakukan pada guru-guru sekolah dilaporkan sangat tinggi. Usaha Soekarno untuk menghentikan pembunuhan itu sia-sia. Ia dituduh terlibat dalam gerakan kudeta itu dan kepemimpinan Angkatan Darat secara terbuka memaksanya menyerahkan kepemimpinan dan kekuasaan kepada Soeharto pada April 1966 di saat pembunuhan di berbagai tempat di Indonesia masih berlangsung.
Karena sedang sibuk dengan ekskalasi intervensi militer di Vietnam, Amerika Serikat pada umumnya kurang memperhatikan perkembangan di Indonesia dan sebagian besar negara lain. Tetapi, pembunuhan masal yang terjadi pada 1965-1966 itu merupakan salah satu peristiwa pembersihan paling berdarah dan paling besar dalam sejarah modern. Seperti ditulis dalam sebuah studi CIA, “Berkenaan dengan jumlah penduduk yang terbunuh, pembunuhan masal oleh golongan anti-PKI di Indonesia termasuk salah satu pembunuhan masal terbesar dalam abad 20, sama halnya dengan pembunuhan yang dilakukan oleh Soviet pada tahun 1930-an, pembunuhan masal oleh Nazi selama Perang Dunia II dan pembantaian yang dilakukan oleh pengikut Mao pada awal 1950-an.”[3] Keterangan yang lebih mendetail mengenai pembunuhan-pembunuhan itu tidak mudah diperoleh, seperti dikatakan oleh Robert Cribb dalam studinya yang dianggap paling baik, “Karena pemerintah yang mengatur dan menyetujui dilakukannya pembunuhan masal itu masih berkuasa, dapatlah dimengerti bila mereka yang mengetahui kejadian itu segan berbicara mengenai apa yang terjadi pada 1965-1966 karena takut mereka sendiri akan menjadi korban.” Namun, perkiraan yang masuk akal menunjukkan angka sekitar setengah juta orang. Laksamana Sudomo yang menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) menyebut angka 450.000 hingga 500.000, dan sekitar 750.000 orang lainnya dipenjarakan atau dikirim ke kamp-kamp konsentrasi (banyak yang berada di sana untuk seumur hidup).[4]
Perebutan kekuasaan oleh Untung, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PKI dan Jenderal Soeharto dan kemungkinan keterlibatan CIA serta MI-6 Inggris, masih belum jelas dan tetap menjadi perdebatan yang berkepanjangan – setidaknya di luar Indonesia, di mana orang dapat dengan aman mengajukan pendapat yang berbeda dengan pendapat pemerintah Indonesia. Sekalipun mungkin saja tindakan Untung tersebut dilakukan tanpa bantuan atau dukungan dari luar negeri, banyak pakar meragukan hal itu. Seperti dikemukakan Frederick Bunell pada tahun 1990 dalam suatu studi yang paling luas dan paling detail mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat mengenai Indonesia selama sembilan bulan pertama 1965, mengarah pada apa yang disebutnya sebagai “kudeta” Untung yang gagal :
Belum tiba waktunya untuk para analis untuk melakukan penilaian akhir atas peranan CIA dalam rencana kudeta pada bulan Oktober itu dan atas kegiatan rahasia apapun yang dilakukan sebelum dan sesudahnya, termasuk juga pembunuhan masal yang tragis terhadap sekitar setengah juta orang yang dikatakan sebagai tindakan kaum komunis pada musim gugur 1965. Beberapa dokumen yang relevan dengan kegiatan CIA dan sebenarnya belum dikeluarkan dari daftar rahasia dan sensor secara mahir “dibersihkan” dan pura-pura dikeluarkan dari daftar rahasia memorandum staf Dewan Keamanan Nasional. Sebab itu, kesimpulan akhir yang hendak dibuat harus menunggu dibukanya dokumen-dokumen rahasia yang relevan oleh pemerintah Amerika Serikat, seperti berkas-berkas lengkap dari kantor CIA di Jakarta dan juga jaminan dari pemerintah Indonesia atas akses untuk bertemu dengan para kolonel pelakum seperti Kolonel Latief (yang sampai sekarang dianggap sebagai salah satu konspirator kunci dan diketahui pernah melakukan perundingan dengan Jenderal Soeharto pada malam hari terjadinya percobaan kudeta) yang masih dipenjarakan.[5]
Kalalu ketiadaan dokumen CIA yang telah dikeluarkan dari daftar rahasia yang berkaitan dengan intervensi Amerika Serikat di Indonesia pada 1957-1958 dapat diatasi dengan adanya catatan-catatan pribadi Duta Besar Jones dan catatan-catatan hasil percakapan telepon yang dilakukan oleh kakak-beradik Dulles, maka tidak ada data dar sumber lain yang dapat menggantikan dokumen-dokumen CIA yang masih dirahasiakan berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada 1965. Inggris pun belum mengeluarkan dokumen-dokumen pemerintahnya yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Indonesia selama periode itu. Namun, tak diragukan lagi bahwa di antara semua kekuatan asing Inggris-lah yang paling memiliki motivasi untuk melakukan perubahan politik di Indonesia pada saat itu. Hanya dengan adanya perubahan politik di Indonesia, Inggris akan dapat menghentikan pengeluaran dana besar-besaran yang selama itu dilakukan karena harus membiayai pasukan ekspedisi dalam jumlah besar yang ditugaskan untuk mempertahankan Malaysia dari kebijakan konfrontasi Indonesia.
Pemerintah Soeharto juga bertanggung jawab atas ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi pada tahun 1965. Demikian kuatnya usaha pemerintah Soeharto untuk mempertahankan versinya mengenai peristiwa yang terjadi pada 1965, sehingga PKI tampak, menurit istilah Harold Crouch, “Sebagai satu-satunya dalang yang membuat rencana dan melaksanakan usaha perebutan kekuasaan” dengan “para pengikut militer hanya sebagai wayang dalam tangannya.”[6] Demikian kuatnya penegasan itu, sehingga secara fundamental tidak ada alasan untuk menganggap gerakan yang dilakukan oleh Untung sebagai “masalah intern Angkatan Darat” dan usaha untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi segera kehilangan kredibilitasnya. Upaya pemerintah untuk membuktikan masalah sebenarnya memuncak pada tahun 1968 dengan mensponsori studi yang dilakukan oleh dua perwira Angkatan Darat, yaitu Kolonel Nugroho Notosusanto dan Letnan Kolonel Ismail Saleh yang hingga kini masih tetap paling mendekati versi resmi percobaan kudeta 1965 itu.[7] Seperti dicatat oleh Crouch “Menurut versi itu para perwira Angkatan Darat dan Angkatan Udara yang terlibat dalam percobaan kudeta dengan sengaja menjadi agen PKI dan mereka tidak mempunyai motivasi sendiri yang menurut kedua kolonel tersebut dibuat sedemikian rupa agar seolah-olah tampak sebagai masalah intern Angkatan Darat.” Keterangan-keterangan yang digunakan kedua penulis terutama berasal dari Mahkamah Militer yang dimaksudkan, seperti kata Crouch, “Untuk membuktikan bahwa peristiwa itu merupakan percobaan kudeta oleh PKI.”[8] Sekalipun tidak sulit untuk menerima kenyataan bahwa memang ada campur tangan PKI, versi itu secara resmi terpaksa menyetujui dilakukannya pembunuhan masal dalam usaha membuktikan bahwa Angkatan Darat tidak bersalah dan melemparkan tanggung jawab kepada PKI, sehingga hasilnya malah merusak kredibilitas dari versi yang dibuat oleh pemerintah Soeharto tersebut. Ketergantungan yang bergitu besar pada hasil interogasi dan pemeriksaan pengadilan terhadap orang-orang komunis dan mereka yang dituduh memainkan peranan penting dalam percobaan kudeta itu membuat usaha pemaparan bukti yang ada jadi kurang meyakinkan, bahkan bagi CIA yang jelas-jelas berusaha mendukung maksud pemerintah Indonesia. Ketika membicarakan penggunaan hasil interogasi Angkatan Darat oleh pengadilan, CIA, dalam suatu studi yang dilakukan pada Desember 1968 mengenai usaha kudeta itu, mengakui bahwa :
Kalau kami menerima kenyataan bahwa laporan interogasi itu merupakan catatan harafiah dari interogasi sebenarnya yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkaitan dengan Gerakan 30 September, keabsahannya masih perlu dipertanyakan. Tentu benar bila bukti yang didapat dari orang-orang yang diinterogasi di bawah tekanan fisik dan mental, seperti yang tentunya mereka alami, harus diterima dengan beberapa syarat. Selalu mungkin terjadi, orang yang sedang diinterogasi kadang-kadang akan mengatakan apapun yang mereka anggap dikehendaki oleh para interogator untuk mereka katakan hanya untuk mengakhiri interogasi yang pelaksanaannya disertai dengan penyiksaan.[9]
Sekalipun belum ada bukti yang memadai mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam upaya kudeta yang dilakukan oleh Untung, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan para pejabat di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dengan bersemangat mendukung tindakan Angkatan Darat setelah peristiwa itu terjadi. Sikap Kedutaan Besar Amerika Serikat terlihat jelas ketika, hampir satu bulan setelah pembunuhan masal itu terjadi, Francis Galbraith, deputi kepala urusan khusus (yang kemudian menggantikan Marshall Green sebagai duta besar) melaporkan kepada Washington mengenai percakapannya dengan seorang perwira tinggi Angkatan Darat Republik Indonesia, dimana ia menjelaskan, “Kedutaan Besar dan pemerintah Amerika Serikat pada umumnya bersikap simpati dan memuji apa yang dilakukan oleh Angkatan Darat.”[10] Studi yang dilakukan dengan teliti atas dokumen-dokumen pemerintah Amerika Serikat yang telah dikeluarkan dari daftar rahasia berkenaan dengan pembubaran PKI dalam hal ini tidak menunjukkan adanya pejabat Amerika Serikat yang keberatan atau mengkritik pembunuhan yang terjadi pada 1965-1966. Ketika kemudian William Colby yang saat itu menjabat Kepala Urusan Timur Jauh dalam Direktorat Perencanaan CIA (dan kemudian menjadi Direktur CIA) diminta untuk memberikan komentar atas penemuan tersebut, ia menyatakan bahwa memang tidak pernah mendapati adanya keberatan atau kecaman seperti itu.[11]
Peranan Amerika Serikat lebih banyak dari sekedar menerima dan mendukung saja. Seperti yang dikemukakan oleh Bunnell setelah mempelajari dokumen-dokumen pemerintah Amerika Serikat yang dicocokkan dengan wawancara yang dilakukan dengan Jenderal Sukendro (yang pada tahun 1965 menjabat sebagai kepala intelijen Angkatan Darat), terbukti bahwa Amerika Serikat segera memenuhi permintaan Angkatan Darat yang disampaikan oleh Sukendro pada 6 November 1965 untuk mendapatkan persenjataan “yang akan dugunakan untuk mempersenjatai para pemuda Islam nasionalis di Jawa Tengah guna melawan PKI” berkenaan dengan kebijakan Angkatan Darat secara keseluruhan untuk “melenyapkan PKI”.[12]
PKI memang berhasil dilenyapkan sampai ke akar-akarnya dan bahkan sebelum proses pembubarannya selesai, Soekarno dipaksa menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto dan selama sisa hidupnya harus berada dalam tahanan rumah.
Bagi Amerika Serikat, keadaan politik di Indonesia kemudian menjadi lebih sederhana. Delapan tahun sebelumnya, Amerika Serikat menghadapi sebuah pemerintahan yang sangat beraneka ragam dan pluralistik. Intervensi Amerika Serikat dengan mendukung para pemberontak dan peranannya dalam perang saudara yang meletus kemudian menyebabkan Indonesia hanya memiliki tiga pusat kekuasaan – dalam bentuk hubungan persaingan yang tidak stabil dan tanpa dielakkan siap meledak dengan akibat yang sangat menghancurkan. Setelah peristiwa yang terjadi pada 1965-1966, keadaan politik yang dihadapi Amerika Serikat di Indonesia menjadi lebih sederhana lagi karena kemudian hanya ada satu kekuasaan yang penting, yaitu Angkatan Darat Republik Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.
[1] CIA, Indonesia 1965: The Coup That Backfield, hlm 188-189.
[2] Keempat puluh lima anggota Presidium Dewan Revolusioner yang diumumkan oleh Untung terdiri atas beberapa pemimpin senior PNI dan Nahdlatul Ulama dan beebrapa partai kecil serta tiga orang pemimpin PKI dan eselon dua dan tiga serta 22 orang perwira Angkatan Bersenjata, termasuk 9 orang Jenderal. Kebanyakan yang disebut namanya sebagai anggota presidium itu tidak pernah mendengar mengenai presidium tersebut sebelumnya dan tidak mengerti mengapa nama-nama mereka dicantumkan.
[3] CIA, Indonesia 1965: The Coup That Backfield, hlm 71.
[4] Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965-1966 (Melbourne Center of Southeast Asian Studies, 1990), hlm 3. Perkiraan Sudomo mengenai orang yang terbunuh, lihat Crouch, Army and Politics, hlm 155. Perkiraan (mengenai orang-orang yang dipenjarakan dan yang dikirim ke kamp-kamp konsentrasi) dikutip oleh Sekkretaris Jenderal Amnesty International Martin Ennals, seperti yang diberikan oleh Laksamana Sudomo. New York Review of Books, 9 Februari 1978, hlm 44.
[5] Frederick Bunnell, “American ‘Low Posture’ Policy toward Indonesia In the Months Leading to the 1965 ‘coup’,” Indonesia 50 (Oktober 1990), hlm 30.
[6] Harold Crouch, Army and Politics, hlm 104.
[7] The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia (Jakarta: Pembimbing Masa, 1968). Pada tahun 1966 Nugroho menerbitkan buku mengenai keterangan yang lebih pendek mengenai peristiwa itu, 40 Hari Kegagalan G-30S (Staf Pertahanan-Keamanan, Jakarta).
[8] Crouch, Army and Politics, hlm 112.
[9] CIA, Indonesia 1965: The Coup That Backfield, hlm 311. Rupanya studi CIA setebal 318 halaman itu dibuat untuk mengimbangi kelemahan buku yang ditulis oleh Nugroho-Saleh
[10] Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada Departemen Luar Negeri, 5 November 1965.
[11] Gabriel Kolko, Confronting The Third Worldm hlm 181, dan Bunnell yang dalam studinya mengenai dokumen-dokumen yang tersedia, menghasilkan kesimpulan yang sama. Evaluasi Colby itu dibuat sebagai jawaban atas pertanyaan dari salah satu seorang penulis buku yang hadir dalam simposium pengenai “Secrecy and US Foreign Policy” yang diselenggarakan di Tufts University, 26-27 Februari 1988.
[12] Bunnell, American ‘Low Posture’ Policy, hlm 60, 152, 59
Dokumentasi gerakan G 30S/PKI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar